“Malpraktik adalah melakukan apa yang seharusnya tidak dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan”, begitu sebuah statement singkat yang terpajang disebuah pintu ruangan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Solok sewaktu saya berkunjung untuk berobat ke sana. Singkat dan sederhana namun perlu jadi perhatian bagi kita, terutama sebagai seorang tenaga medis. Masih dominannya masalah kesehatan di masyarakat, di Indonesia khususnya, menjadikan hal ini sorotan tajam pihak manapun. Faktor pengetahuan dan wawasan akan khasanah istilah yang beredar di masyarakat juga mengambil andil dalam timbulnya suatu problem di tengah masyarakat itu sendiri. Malpraktik adalah salah satunya. Terkait dengan masalah kesehatan masyarakat dan berhubungan dengan tingkat pemahaman masyarakat akan istilah tersebut.
Praktik kedokteran yang ada di lingkungan masyarakat, bukanlah suatu profesi yang dapat dilakukan oleh siapa saja. Tugas dan pekerjaan ini hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran tertentu yang memiliki kompetensi, memenuhi standar yang telah ditetapkan, diberi kewewenangan oleh institusi yang berwenang di bidang itu dan bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang telah ditetapkan oleh organisasi profesinya. Hal ini menjadi pagar batas bagi seorang dokter dalam menjalankan profesinya di lingkungan masyarakat. Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak, yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktek hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar.
Namun, yang terjadi saat ini adalah masyarakat umum mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh masyarakat profesi. Mereka merasa tidak mendapatkan apa yang semestinya mereka dapatkan dan mengeluhkan hal-hal, yang menurut mereka tidak perlu dilakukan atau diberikan. Dari sana semua permasalahan ini berawal, dan masyarakat umum dengan segera men-judge masyarakat profesi melakukan tindakan yang tidak wajar, malpraktik. Dibutuhkan pemahaman yang benar dan tepat mengenai hal tersebut karena ini adalah sesuatu yang sangat sensitif.
Malpraktik medis menurut World Medical Association (1992) adalah: "medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”. Malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu, kelalaian, atau dikarenakan tidak mahirnya seorang tenaga medis dan tidak memiliki kompetensi yang seharusnya ia kuasai.
Professional misconduct yang merupakan kesengajaan dapat dilakukan dalam bentuk pelanggaran ketentuan etik, ketentuan disiplin profesi, hukum administratif, serta hukum pidana dan perdata, seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, pelanggaran wajib simpan rahasia kedokteran, aborsi ilegal, euthanasia, penyerangan seksual, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji / diterima, berpraktek tanpa SIP (Surat Izin Praktek), berpraktek di luar kompetensinya, dan sebagainya. Kesengajaan tersebut tidak harus berupa sengaja mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) dibandingkan hanya berupa error (berkaitan dengan informasi).
Kelalaian dalam bidang medis, yang diatur oleh hukum, dapat terjadi dalam 3 bentuk, yaitu malfeasance, misfeasance, dan nonfeasance. Malfeasance berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat / layak (unlawful atau improper), misalnya melakukan tindakan medis tanpa indikasi yang memadai (pilihan tindakan medis tersebut sudah improper). Misfeasance berarti melakukan pilihan tindakan medis yang tepat tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat (improper performance), yaitu misalnya melakukan tindakan medis dengan menyalahi prosedur. Sedangkan nonfeasance adalah tidak melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Suatu tindakan atau sikap tenaga medis dianggap lalai apabila memenuhi empat unsure berikut: Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut, damage atau kerugian yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan/ kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan, serta direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian yang setidaknya merupakan proximate cause.
Jika kita membicarakan hal pidana atas suatu tindakan kesalahan, tentu setiap kesalahan tersebut sudah diatur dalam hukum yang berlaku. Walaupun seorang dokter, dalam kesehariannya, mendapat prediket “profesi yang mulia” tetapi tetap saja ada sisi yang membuatnya harus dipandang buruk dalam pandangan konsumen/ masyarakat umum. Hal ini mengisyaratkan kepada para tenaga medis akan pentingnya suatu tindakan yang berlandaskan pada standar operasional yang profesional. Indikasi suatu tindakan medis harus mampu dijelaskan kepada pasien/ konsumen agar miskomunikasi tidak menjadi pangkal permasalahan ini.
Jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP). Sedangkan pidana lain yang bukan kelalaian yang mungkin dituntutkan adalah pembuatan keterangan palsu (pasal 267-268 KUHP), aborsi ilegal (pasal 349 KUHP jo pasal 347 dan 348 KUHP), penipuan dan misrepresentasi (pasal 382 bis), pidana perpajakan (pasal 209 atau 372 KUHP), pencemaran lingkungan hidup (pasal 42 dan 43 UU Pengelolaan Lingkungan Hidup), euthanasia (pasal 344 KUHP), penyerangan seksual (pasal 284-294 KUHP), dan sebagainya.
Cukuplah masalah kesehatan, yang telah menjadi masalah dominan masyarakat Indonesia, menjadi tugas kita untuk diselesaikan. Ketika komunikasi, interaksi, wawasan dan pengetahuan serta attitude terintegrasi dengan baik, maka hal-hal yang merugikan masyarakat profesi ataupun masyarakat umum tidak akan menjadi suatu masalah besar, yang kian hari makin bertambah. Ketika suatu masalah baru, datang seiring dengan masalah lama yang besar dan belum terselesaikan, maka akan berdampak pada penyelesaian yang tidak berujung. Apalagi diantara masalah tersebut terdapat hubungan dan kaitan yang bermakna. Masalah kesehatan dan malpraktik adalah salah satunya. Interaksi antara dua problem besar ini, akan menjadi bencana besar jika tidak ditatalaksana sesegera mungkin dan tidak menutup kemungkinan menjadi masalah kronik bagi bangsa ini.
Sekali lagi, komunikasi, interaksi, wawasan dan pengetahuan serta attitude yang terintegrasi dengan baik adalah kuncinya. Penyelesaiannya tidak hanya menuntut pemerintah untuk turun tangan, tetapi andil dari berbagai bidang / sektor dan masyarakat mempengaruhi penyelesaian masalah ini. Masyarakat umum diminta untuk tidak gegabah dalam menilai tindakan medis yang diberikan, dokter dituntut untuk bertindak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, dengan skill serta kompetensi yang telah digariskan, pemerintah dan sektor lain hendaklah memperhatikan masalah yang timbul dan menyelesaikan permasalahan tersebut secepatnya. Walau tidak sesederhana itu, tetapi permasalahan ini tidak akan kunjung berakhir jika hanya beberapa bagian komponen yang terlibat saja, yang mengacuhkan permasalahan ini. Tanggung jawab kita, dipertanyakan.
Ditulis oleh: Hendra Amalfi
Esai ini telah di presentasikan dan memperoleh juara III Lomba Esai Nasional yang diselenggarakan Badan Pers Nasional Ikatan senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (BPN – ISMKI) dalam rangkaian acara Munas – Mukernas BPN – ISMKI 2009